Senin, 18 Oktober 2010

Leptospirosis

I.Defenisi
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.
Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara berkembang, dimana kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama. pembuangan sampah. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi (tabel 1) dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas.
II. Penularan
Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.
Berdasarkan data Semarang tahun 1998 ? 2000. Banjir besar di Jakarta tahun 2002, dari data sementara 113 pasien leptospirosis, diantaranya 20 orang meninggal. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim penghujan lebih-lebih dengan adanya Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Pejamu reservoar utama adalah roden/tikus dengan kuman leptospira hidup di dalam ginjal dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil yang tertular secara langsung atau tidak langsung.
Penularan langsung terjadi melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu Dari hewan ke manusia merupakan penyakit kecelakaan kerja, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama dipakai oleh manusia dan hewan.

Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak, karena tidak terdiagnosis atau manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Menurut keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinik dan penanganannya, dibagi menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.
III. Gejala Klinis
Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. , oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis sebagai salah satu diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.

Gejala klinis leptospirosis yang tidak spesifik dan sulitnya tes laboratorium untuk konfirmasi diagnosis mengakibatkan penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis.
Mayoritas kasus leptopirosis adalah anikterik yang terdiri dari 2 fase/stadium yaitu fase leptospiremia/ fase septikemia dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik.
Manifestasi klinis berupa demam ringan atau tinggi yang bersifat remiten, mialgia terutama pada otot betis, conjungtival suffusion (mata merah), nyeri kepala, menggigil, mual, muntah dan anoreksia, meningitis aseptik non spesifik.
Leptospirosis ringan atau anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di Cina. Tes pembendungan terkadang positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi dengue.
Pada leptospirosis ikterik, pasien terus menerus dalam keadaan demam disertai sklera ikterik, pada keadaan berat terjadi gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Gejala klinik leptospirosis ikterik lebih berat, yaitu gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan (penyakit Weil ). Selain itu dapat terjadi Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS), koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik sebagai penyebab kematian pasien leptospirosis ikterik.
Stadium Pertama
• Demam menggigil
• Sakit kepala
• Malaise
• Muntah
• Konjungtivitis
• Rasa nyeri otot betis dan punggung
• Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari

Gejala yang Khas:
• Konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata)
• Rasa nyeri pada otot-otot Stadium Kedua
• Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita
• Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama
• Apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis.
• Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat.

IV. Komplikasi Leptospirosis

• Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
• Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
• Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
• Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
• Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
• Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

V. Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira ( MAT, ELISA, tes penyaring).
Golden standar pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat mengidentifikasi jenis serovar.
Pemeriksaan penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu : Suspek, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan tes laboratorium. Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif , bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positip, atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil tes MAT / ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih.

VI. Pencegahan

Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi pada pejamu manusia. Berbagai kegiatan yang dapat mencegah leptospirosis:
• Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
• Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
• Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan.
• Mencucui tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya.
• Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
• Menjaga kebersihan lingkungan
• Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang.
• Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung.
• Menghindari pencemaran oleh tikus.
• Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh tikus


VII. Pengobatan dan Prognosis

Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline)
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
Bila terjadi komplikasi angka lematian dapat mencapai 20%. Terapi leptospirosis mencakup aspek terapi aspek kausatif, dengan pemberian antibiotik Prokain Penisilin, Amoksisilin, Ampisilin, Doksisiklin pada minggu pertama infekasi, maupun aspek simtomatik dan suportif dengan pemberian antipiretik, nutrisi, dll.
Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna, berbeda dengan leptospirosis berat yang mempunyai angka CFR tinggi, antara 5 ? 40%. Prognosis ditentukan oleh berbagai faktor seperti virulensi kuman leptospira, kondisi fisik pasien, umur pasien, adanya ikterik, adanya gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat serta cepat lambatnya penanganan oleh tim medik.

cacing capillaria

A. PENDAHULUAN
Pertama kali ditemukan di Pulau Luzon, Filipina pada tahun 1963. Penyakit ini secara klinis berupa enteropati yaitu hilangnya protein dalam jumlah besar disertai dengan sindroma malabsorpsi yang menyebabkan hilangnya berat badan dengan cepat dan terjadi emasiasi berat. Kasus fatal ditandai dengan ditemukannya parasit dalam jumlah besar didalam usus halus, disertai dengan asites dan transudasi pleura. CFR sekitar 10 %. Kasus subklinis juga terjadi, namun biasanya berkembang menjadi kasus klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan melihat gejala klinis dan ditemukannya telur atau larva atau parasit dewasa di dalam tinja. Telur-telur ini mirip dengan telur Trichuris trichiura. Dengan melakukan biopsi jejunum bisa ditemukan adanya cacing pada mukosa.
Capillariasis intestinal endemis di Kepulauan Filipina dan Thailand; beberapa kasus dilaporkan terjadi di Jepang, Korea, Taiwan dan Mesir. Satu kasus telah dilaporkan muncul di Iran, India, Indonesia dan Kolumbia. Penyakit ini mencapai tingkat endemis di Pulau Luzon, dimana sepertiga dari populasi telah terinfeksi. Pria berumur antara 20 dan 45 tahun adalah kelompok umur dengan risiko tinggi.

B. MORFOLOGI

- cacing dewasa jantan:panjang ± 2,3 – 3,2 mm, panjang esofagus ½ panjang badan dikelilingi oleh stikosit, ekornya mempunyai papil.
- cacing dewasa betina:panjang ± 2,5 – 4,3 mm, panjang esofagus 1/3-1/2 panjang badan dikelilingi oleh stikosit, uterus berisi telur atau larfa.
- Telurnya berukuran 30-45 mikron, mirip dengan telur tricuris trichiura hanya kutubnya tidak menonjol.






C. SIKLUS HIDUP

Dewasa berada di mukosa usus halus manusia-> cacing betina bertelur di usus halus yang mungkin berkembang biak dalam hospes utamanya yakni usus halus manusia-> autoinfeksi tetapi biasanya keluar bersama tinja-> ikan menelan telur infektif (telur berisi embrio) -> telur menetas dan larva menembus usus dan menyerang jaringan ikan setelah beberapa minggu perkembangan larva menginfeksi manusia dengan makan ikan mentah atau kurang matang

D. GEJALA KLINIS
Infeksi Capillaria philippinensis bisa serius karena dapat berkembang biak parasit dalam usus, dan cacing dan larva melakukan kerusakan ekstensif pada lapisan usus.Gejalanya meliputi diare, sakit perut, kekurangan gizi, dan ditandai penurunan berat badan.
Infeksi kronis mengakibatkan kesulitan pencernaan dan karenanya terhadap protein dan kehilangan elektrolit, dan adanya efek ireversibel kematian infeksi.

E. PENATALAKSANAAN

Obat pilihan : Albendazole
Obat alternatif : Mebendazole/Thiabendazole

cacing filaria

A. PENDAHULUAN

Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah (filariasis), ukurannya supermini, berwujud mirip benang. Begitu cacing filarial bersarangdi tubuh manusia, berbagai perubahan mengerikan bakal terjadi. Kegiatan cacing mini dalam tubuh itu mampu membuat kaki, tangan,payudara, bahkan buah zakar penderitanya berubah menjadiberukuran “raksasa”. Inilah yang sering disebut penyakit kaki gajah.
Melihat betapa mengerikan penyakit itu, masih banyak orang dipedesaan meyakini, penyakit itu adalah penyakit keturunan, bahkan dianggap sebagai gangguan setan atau roh halus. Walau sangat jarangmenyebabkan kematian, penyakit itu membuat penderita menjadicacat dan tak produktif.
Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah itu berasal dari genuswuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai penyebab penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori.
Cacing filaria mempunyai inang perantara hewan Arthropoda, misalnya nyamuk, dan inang tetap yaitu manusia pada bagian pembuluh getah bening. Pada siang hari, larva berada di paru-paru atau di pembuluh darah besar. Pada malam hari, cacing pindah ke pembuluh arteri atas dan vena perifer di dekat kulit. Apabila cacing yang mati menyumbat pembuluh getah bening, maka menyebabkan pembengkakkan atau terjadinya penyakit kaki gajah (elephantiasis). Mikrofilaria dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Culex

B. MORFOLOGI

Cacing dewasa berwarna putih kekuning-kuningan, diliputi kutikula halus, berbentuk silindris seperti benang, kedua ujung tumpul, bagian anterior membengkak, mulut berupa lubang sederhana tanpa bibir ataupun alat lainnya, langsung menuju esofagus dengan sebuah rongga bukal tetapi tanpa tonjolan maupun kontriksi seperti tanda khas yang terdapat pada nematoda.

o Cacing jantan kurang lebih 40mm x 0,1 mm, ujung kaudal melengkung ke ventral didapat 12 pasang papila perianal, terdiri atas 8 pasang preanal dan 4 pasang posanal. Terdapat dua spikula dengan gubernakulum yang berbentuk bulan sabit.
o Cacing betina, 80-100 mm x 0,24-0,30 mm, vulva terletak di daerah servikal, vagina pendek dengan sebuah segmen keluar dari uterus selanjutnya organ genitalia ini berpasangan. Embrio yang masih muda terdapat di bagian dalam uterus dilapisi lapisan hialin yang tipis, kurang lebih 38 x 25 μ, apabila terdorong ke bagian uterus, bungkusnya memanjang menyesuaikan dengan bentuk embrio sampai embrio lahir tetap terbungkus sarung, embrio ini disebut mikrofilaria.

C. SIKLUS HIDUP
Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.
2. Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang lebih 7 bulan.
Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Cacing yang diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di dalam tubuh nyamuk. Makhluk mini itu berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu, pada stadium 3, larva mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk.Nyamuk pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan ”memindahkan” larva infektif tersebut.
Bersama aliran darah, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi padamalam hari, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh.Pemeriksaan darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan malam hari.
Setelah dewasa, cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangicairan limfe sehingga terjadi pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di tangan, payudara, atau buah zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa mengalir sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak, mengakibatkan pembesaran tangan.

D. GEJALA KLINIK
Apabila seseorang terserang filariasis, maka gejala yang tampak antara lain:
1. Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, demam dapat hilang bila si penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar getah bening sehingga terlihat bengkak di daerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
3. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahandan merasa panas.
Sedangkan gejala klinis filariasis kronis yaitu berupa pembesaran yang menetap (Elephantiasis) pada tungkai, lengan buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

E. PENATALAKSANAAN
Selama lebih dari 40 tahun untuk pengobatan filariasis, baik secara perorangan maupun untuk pengobatan masal dalam jangka panjang, digunakan DEC (Diethil Carbamazine Citrate). DEC bersifat membunuh mikrofilaria juga makrofilaria atau cacing dewasa. Sehingga sampai saat ini DEC merupakan satu-satunya obat penyakit kaki gajah (filariasis) yang efektif, aman dan relatif murah. Pada pengobatan perorangan bertujuan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, guna mengurangi atau mencegah kesakitan. Aturan dosis yang dianjurkan untuk 6 mg/kg berat badan/hari, selama 12 hari diminum sesudah makan, dalam sehari 3 kali.

Pada pengobatan masal (program pengendalian filariasis), digunakan pemberian DEC dosis rendah, dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama, misalnya:
- Dalam bentuk garam DEC 0,2% - 0,4% selama 9 - 12 bulan.
- Untuk orang dewasa digunakan 100mg/minggu selama 40 minggu.

Phtiriasis

Phtiriasis adalah gangguan pada daerah pubis yang disebabkan oleh Phtirus pubis.
Epidemiologi
Phtirus pubis ditemukan hamper di seluruh belahan dunia. Penularan Phtirus pubis ini terjadi melalui kontak langsung, terutama melalui hubungan seksual, namun juga bisa melalui penggunaan pakaian secara bersama-sama
Morfologi dan Daur Hidup
Bentuk phtirus pubis pipih dorsoventral, bulat menyerupai ketam, dengan kuku pada ketiga pasang kakinya, stadium dewasa berukuran 1,5 -2 mm dan berwarna abu-abu. Karena bentuknya menyerupai ketam, phtirus pubis disebut juga Crab Louse.
Selain pada rambut di daerah selangkangan, serangga ini juga dapat ditemukan pada rambut di daerah rambut ketiak, jenggot, kumis dan bulu mata. Serangga ini memasukkan mulutnyake dalam kulit selama beberapa hari untuk mengisap darah, waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan dari telur hingga menjadi dwasa sekitar 3-4 minggu.
Patologi dan Gejala Klinis
Rasa gatal terjadi pada tempat tusukan dan kadang-kadang kulit di tempat tusukan dan sekitarnya menjadi pucat. Gangguan utama adalah rasa gatal pada kulit di sekitar pubis. Telur-telur yang diletakkandi alis mata dapat menyebabkan ganggaun penglihatan
Diagnosis
Diagnosis phtiriasis ditegakkan dengan menemukan Phtirus pubis dewasa, teluratau nimfanya dari rambut pubis, atau rambut lainnya.
Pengobatan
Pembrantasan serangga ini dapat dilakukan dengan insektisidaDDT 10% bentuk bubuk atau dengan mencukur rambut pubis atau rambut lainnya yang menjadi tempat hidupnya.







REFERENSI
1. Gandahusada, Srisasi, dkk. 1996. Parasitologi Kedokteran. 2nd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
2. http://studiku.wordpress.com/
3. http://www.tanyadokter.com/
4. http://cakmoki86.wordpress.com/
5. Jurnal “Pharmacology of Antifungi, Anthelminthics, Antiprotozoal” oleh Aznan Lelo dan Zulkarnain Rangkuty, Dep. Farmakology dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Pedikulosis

Peduculosis adalah gangguan pada tubuh yang disebabkan oleh infeksi pedikulus (kutu/tuma), Ada dua jenis pedikulus yang sering ditemukan yaitu Pedikulus humanus kapitis (kutu rambu di badan) dan Pedikulus Humanus kapitis (kutu rambu kepala).
Epidemiologi
Kutu rambut merupakan parasit manusia saja dan tersebar di seluruh dunia. Tempat-tempat yang disukainya adalah rambut pada bagian belakang kepala. Pedikulosis dapat bergerak dengan cepat dan mudah berpindah dari satu hospes ke hospes lain. Kutu rambut ini dapat bertahan 10 hari pada suhu 5oc tanpa makan, dapat menghisap darah untuk waktu yang lama, mati pada suhu 400c. Panas yang lembang pada suhu 600c memusnahkan telur dalam waktu 15-30 menit. Pedikulosis mudah ditularkan melalui kontak langsung atau dengan perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya sisir, sikat rambut, topi dan lain-lain.
Anak-anak yang tinggal di pegunungan dengan udara dingin di pagi hari menjadikan enggan atau malas untuk mandi ataupun mencuci rambut saat mereka bersiap-siap pergi ke sekolah. Disamping itu kesadaran masyarakat dan orang tua akan kesehatan dan kebersihan diri anak-anaknya masih tergolong kurang baik. Sebagian besar dari mereka mengeluh dengan rasa gatal yang hebat pada rambut kepala dan adanya borok. Akibat garukan pada kulit kepala mereka. Rasa gatal adalah gejala pertama dan bekas garukan adalah gejala yang khas dari infeksi pedikulus.
Pedikulus merupakan ektoparasit yang menginfeksi manusia, termasuk dalam famili pediculidae yang penularannya melalui kontak langsung dan dengan perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya : sisir, sikat rambut, topi, dan lain-lain.
Morfologi
Kutu rambut dewasa
Kutu rambut dewasa berbentuk pipih dan memanjang, berwarna putih abu-abu, kepala ovoid bersudut, abdomen terdiri dari 9 ruas, Thorax dari khitir seomennya bersatu. Pada kepala tampak sepasang mata sederhana disebelah lateral, sepasang antenna pendek yang terdiri atas 5 ruas dan proboscis, alat penusuk yang dapat memanjang. Tiap ruas thorax yang telah bersatu mempunyai sepasang kaki kuat yang terdiri dari 5 ruas dan berakhir sebagai satu sapit menyerupai kait yang berhadapan dengan tinjolan tibia untuk berpegangan erat pada rambut.

Kutu rambut jantan berukuran 2mm, alat kelamin berbentuk seperti huruf “V”. Sedangkan kutu rambut betina berukuran 3mm, alat kelamin berbentuk seperti huruf “V” terbalik. Pada ruas abdomen terakhir mempunyai lubang kelamin di tengah bagian dorsal dan 2 tonjolan genital di bagian lateral yang memegang rambut selama melekatkan telur. Jumlah telur yang diletakkan selama hidupnya diperkirakan 140 butir.
Nimfa
Nimfa berbentuk seperti kutu rambut dewasa, hanya bentuknya lebih kecil.
Telur
Telur berwarna putih mempunyai oper culum 0,6-0,8 mm disebut “nits”. Bentuknya lonjong dan memiliki perekat, sehingga dapat melekat erat pada rambut. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-10 hari.
Siklus Hidup
Lingkaran hidup kutu rambut merupakan metamorfosis tidak lengkap, yaitu telur-nimfa-dewasa. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-10 hari sesudah dikeluarkan oleh induk kutu rambut. Sesudah mengalami 3 kali pergantian kulit, nimfa akan berubah menjadi kutu rambut dewasa dalam waktu 7-14 hari. Dalam keadaan cukup makanan kutu rambut dewasa dapat hidup 27 hari lamanya.
Pedikulosis hidup berkembang biak pada rambut kepala lebih suka pada rambut yang kotor, lembab, jarang disisir dan dikeramas. Menginfeksi manusia yang tidak menjaga kebersihan rambut kepala.
Pedikulosis dapat bergerak dengan cepat dan mudah berpindah dari satu hospes ke hospes lain. Mudah ditularkan melalui kontak langsung atau dengan perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya sisir, sikat rambut, topi dan lain-lainnya. Sangat banyak ditemukan diantara anak sekolah terutama gadis-gadis yang kurang menjaga kebersihan rambut kepala.
Patologi dan Gejala Klinik
Lesi pada kulit kepala disebabkan oleh tusukan kutu rambut pada waktu menghisap darah. Lesi sering ditemukan di belakang kepala atau kuduk. Air liur yang merangsang menimbulkan papula merah dan rasa gatal yang hebat. Gigitannya akan menyebabkan iritasi pada kulit yang disebabkan oleh air liur yang dikeluarkan pada waktu menghisap darah penderita.
Tiap manusia memiliki kepekaan yang berlainan. Lesi kutan yang ditimbulkan oleh gigitan Pedikulus memberikan reaksi yang sangat gatal. Menggaruk besar menambah peradangan dan karena infeksi sekunder oleh bakteri terbentuklah pustel crusta dan proses penanahan. Rasa gatal merupakan gejala pertama dan yang paling penting, tanda bekas garukan merupakan tanda yang khas.
Pada infeksi berat, helaian rambut akan melekat satu dengan yang lainnya dan mengeras, dapat ditemukan banyak kutu rambut dewasa, telur (nits) dan eksudat nanah yang berasal dari gigitan yang meradang. Infeksi mudah terjadi dengan kontak langsung. Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kepala.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan jika terdapat rasa gatal-gatal yang hebat dengan bekas-bekas garukan dan dipastikan jika ditemukan Pedikulus dewasa, nimfa dan telurnya.
Macam-Macam Pengobatan
Pemberantasan pedikulosis dapat dilakukan dengan menggunakan tangan, sisir serit atau dengan pemakaian insektisida golongan klorin (Benzen heksa klorida). Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan rambut kepala. Pada pemeriksaan teknik yang digunakan yaitu pemeriksaan langsung. Teknik ini merupakan paling mudah dikerjakan dan waktu yang dibutuhkan sedikit. Keuntungan lain yang tidak menggunakan reagen yang merusak parasit dan reagen yang digunakan sedikit. Formalin berfungsi untuk mematikan parasit.

Macam-macam obat untuk Pedikulus :
Shampo Lidane 1%. Gamma benzene heksa klorid atau piretrin. Dosis, shampo rambut biarkan 4-10 menit, kemudian dibilas piretrin. Pakai sampai rambut menjadi basah, biarkan 10 menit kemudian dibilas. (Tindak lanjut periksa rambut 1 minggu setelah pengobatan untuk telur dan kutu rambut).
Selep Lindang (BHC 10%) ; atau bedak DDT 10% atau BHC 1% dalam pyrophylite; atau Benzaos benzylicus emulsion. Dosis, epala dapat digosok dengan salep Lindane (BHC 1%) atau dibedaki dengan DDT 10% atau BHC 1% dalam pyrophlite atau baik dengan penggunaan 3 – 5 gram dari campuran tersebut untuk sekali pemakaian. Bedak itu dibiarkan selama seminggu pada rambut, lalu rambut dicuci dan disisir untuk melepaskan telur. Emulsi dari benzyl benzoate ternyata juga berhasil (Brown.H.W, 1983).

Cair / Peditox / Hexachlorocyclohexane 0,5%. Dosis, osokkan pada rambut dan kepala sampai merata biarkan semalam kemudian dicuci lalu dikeringkan.
Kesadaran tentang pentingnya perawatan badan dan rambut perlu ditanamkan baik kepada orang tua maupun para siswa sendiri. Pengobatan juga harus dilakukan jika siswa sudah terjangkit yang ditandai dengan rasa gatal-gatal di kepala.

Skabies

Epidemiologi
Skabies merupakan penyakit epidemik pada banyak masyarakat. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemik scabies. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat juga mengenai semua umur. Insidensi sama pada pria dan wanita.
Insidensi skabies di negara berkembang menunjukan siklus fluktasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemic dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Beberapa factor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual. Insidensinya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat.
Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis, sedangkan varietas pada mamalia lain dapat menginfestasi manusia, tetapi tidak dapat hidup lama.
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Tungau betina panjangnya 300-450 mikron, sedangkan tungau jantan lebih kecil, kurang lebih setengahnya yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan kecepatan 2,5 cm permenit di permukaan kulit.
Sarcoptes scabiei betina setelah dibuahi mencari lokasi yang tepat di permukaan kulit untuk kemudian membentuk terowongan, dengan kecepatan 0,5 mm – 5 mm per hari. Terowongan pada kulit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum. Di dalam terowongan ini tungau betina akan tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih 30 hari dan bertelur sebanyak 2-3 butir telur sehari.
Telur akan menetas setelah 3-4 hari menjadi larva yang akan keluar ke permukaan kulit untuk kemudian masuk kulit lagi dengan menggali terowongan biasanya sekitar folikel rambut untuk melindungi dirinya dan mendapat makanan. Setelah beberapa hari, menjadi bentuk dewasa melalui bentuk nimfa. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek dari pada tungau betina, dan mempunyai peran yang kecil pada patogenesis penyakit. Biasanya hanya hidup dipermukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina.
Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang.
Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau.
Cara Penularan
Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung. Skabies ditularkan oleh kutu betina yang telah dibuahi, melalui kontak fisik yang erat penularan melalui pakaian dalam, tempat tidur, handuk, setelah itu kutu betina akan menggali lobang kedalam epidermis kemudian membentu terowongan didalam stratum korneum. Dua hari setelah fertilisasi, skabies betina mulai mengeluarkan telur yang kemudian berkembang melalui stadium larva, nimpa dan kemungkinan menjadi kutu dewasa dalam 10-14 hari.
Lama hidup kutu betina kira-kira 30 hari, kemudian kutu mati di ujung terowongan. Terowongan lebih banyak terdapat didaerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea.
Penyakit ini sangat mudah menular, karena itu bila salah satu anggota keluarga terkena, maka biasanya anggota keluarga lain akan ikut tertular juga. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada.
Faktor Predisposisi
Kebersihan lingkungan sangat penting pada penularan penyakit ini. Scabies pada umumnya terdapat pada komunitas yang berpenghasilan rendah (low income communities) yang kurang memperhatikan kebersihan diri (personal hygiene). Skabies juga dapat terjangkit pada mereka yang tinggal berdesakan seperti pengungsi, anggota tentara pada saat perang, asrama, panti, sekolah, dll.
Gejala Klinis
Terdapat empat tanda kardinal skabies:
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut.
Pengobatan
Preparat Sulfur presipitataum 5-10% efektif terhadap stadium nimfa, larva dan dewasa. Selain itu Gama Benzen Heksaklorida juga sering digunakan, walaupun pada anak usia dibawah 6 tahun tidak digunakan, karena menyebabkan neurotoksik.
Obat lain yang juga sring digunakan adalah benzylbenzoat 20-25% dan krotamiton

Fasciola Hepatica

I. PENDAHULUAN
Fasciola Hepatica merupakan salah satu spesies cacing yang merupakan parasit dalam tubuh manusia. Fasciola tergolong dalam kelas TREMATODA, filum PLATYHELMINTES.
Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan pada manusia. Fasciola Hepatica merupakan penyakit fascioliasis.
Fascioliasis banyak ditemukan di negara-negara Amerika Latin dan negara-negara sekitar Laut Tengah

II. MORFOLOGI

CAcing dewas mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. pada bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1mm, sedangkan pada bagian dasar erucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1,6 mm. Saluran pencernaan panjang dan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabng-cabang.
Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikrondikeluarkan melalui saluran empedu hospes bersama dengan tinja dsari tubuh hospes dalam keadaan belum matang

III. SIKLUS HIDUP
Cacing hati ini memiliki daur hidup yang kompleks karena melibatkan
sedikitnya dua jenis inang,
yaitu inang utama dan inang sebagai perantara.
Inang utama : ternak / manusia /Ikan , Inang sementara : siput air (Lymnea )
Daur hidup Cacing hati terdiri dari
1. Fase seksual : di inang utama (saat cacing hati dewasa)
2. Fase aseksual : di inang perantara ( tubuh siput) dengan
membelah diri terjadi saat larva.
Larvanya berubah 3 kali di tubuh siput Lymnea . Urutan cyclusnya agar mudah sbb

Siklus hidup cacing fasciola hepatica secara sederhana dapat digambarkan sebagi berikut

Telur - Mirasidium - Sporosis - Redia - Cercaria – MetaCercaria- Metacercaria berekor berenang ke tanaman sekitar air – dimakan Inang utama - masuk jadi Cacing Dewasa .


















• Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba.
• Kemudian telur keluar ke alam bebas bersama kotoran / faeces domba.
• Bila mencapai tempat basah,telur ini akan menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium.
• Mirasidium segera berenang ke siput Lymnea , akan matibila tidak masuk ke dalam tubuh siput
• siput yang dicari adalah jenis siput air tawar Lymnea auricularis-rubigranosa/ L truncatula
• Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh siputselama 2 minggu).
• Sporokista akan melakukan paedogenesis membentuk larva Redia.
• Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan akan melakukan paedogenesis lagi membentuk larva serkaria
• Serkaria segera membentuk ekor dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput membentuk metacercaria
• Metacercaria keluar berenang dalam air .
• Di luar tubuh siput, larva metacercaria menempel pada rumput untuk beberapa lama.
• Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya.
IV. GEJALA KLINIS
Migrasi cacing Fasciola Hepatica ke saluran empedu menimbulkan kerusakan pada parenkim hati. Saluran Empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan Sirosis Periportal.\
V. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum atau cairan empedu. Reaksi serologi sangat emmbantu dalam menegakkan diagnosis

VI. PENATALAKSANAAN

Obat yang sering digunakan dalam membasmi cacing Fasciola Hepatica dan sampai saat ini masih menjadi pilihan utama dalam pengobatan infeksi cacing Trematoda adalah prazikuantel (biltricide dan distocide).

VII. REFERENSI

1. Gandahusada, Srisasi, dkk. 1996. Parasitologi Kedokteran. 2nd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
2. http://biologigonz.blogspot.com
3. http://www.tanyadokter.com/
4. Jurnal “Pharmacology of Antifungi, Anthelminthics, Antiprotozoal” oleh Aznan Lelo dan Zulkarnain Rangkuty, Dep. Farmakology dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Schistosoma

I. PENDAHULUAN
Schistosoma atau bilharzia pada manusia ditemukan 3 spesies schistosoma yang oenting yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, dan Schistosoma Hematobium. Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoar.
Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau bilharziasis.

Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat tonjolan halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing jantan. Cacaing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0-26,0 mm x 0,3 mm. Pada umumnya uterus berisi 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat dengan permukaan selput lendir usus atau kandung kemih.
Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri dan tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95 – 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air; dan larva yang keluar disebut mirasidium.
Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak terdapat hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk infektif cacing Schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri; kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur setelah berkopulasi.

II. SCHISTOSOMA JAPONICUM
Hospes dan Nama Penyakit
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah (rattus), sapi, babi rusa, dan lain-lain.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.
Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu, dan Lembah Napu.

Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm, hidupnya di vena mesenterika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati, paru, dan otak.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai demam hepatomegali dan eosinofilia tinggi.
Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dna splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).

Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah (rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis Lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau Lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi, atau di pinggir parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.
Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.

III. SCHISTOMA MANSONI
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif adalah manusia dan kera baboon di Afrika sebagai hospes reservoar. Pada manusia cacing ini menyebabkan skistosomiasis usus.
Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, berbagai negara Arab (Mesir), Amerika Selatan dan Tengah.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya kira-kira sama seperti pada S. Japonicum, akan tetapi lebih ringan.
Pada penyakit ini splenomegali dilaporkan dapat menjadi beray sekali.
Diagnosis, Pengobatan, Prognosis, dan Epidemiologi
Sama seperti pada S. Japonicum.

IV. SCHISTOSOMA HAEMATOBIUM
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Cacing ini menyebabkan skistosomiasis kandung kemih. Baboon dan kera lain dilaporkan sebagai hospes reservoar.
Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, Spanyol, dan berbagai negara Arab (Timur Tengah, Lembah Nil); tidak ditemukan di Indonesia.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina kira-kira 2,0 cm. Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih.
Telur ditemukan di urin dan alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelamin terutama ditemukan pada dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindroma disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rekrum.
REFERENSI
1. Gandahusada, Srisasi, dkk. 1996. Parasitologi Kedokteran. 2nd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
2. http://febrianfn.wordpress.com/
3. http://biologigonz.blogspot.com
4. http://www.tanyadokter.com/

Morfologi Plasmodium Fivax

I. PENDAHULUAN
Plasmodium termasuk kedalam kelas Sporozoa, kelas sporozoa ini mempunyai ciri-ciri bersel satu ( berukuran mikroskopis ) dan berkembangbiak dengan perantaraan spora-spora, dari anggota kelas sporozoa ini mempunyai sifat yang sama yaitu :
1) hidup sebagai parasit
2) tidak mempunyai alat untuk bergerak.
3) Pembiakan dengan pembentukan spora.
4) Tidak ada Vakuola kontraktil
Bila dilihat dari ordonya, maka plasmodium ini termasuk kedalam Haemosporodia yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) mempunyai spora yang hidup didalam darah
2) jaringan parenkim pada burung dan mamalia.
3) Tidak membuat spora yang resisten.
Plasmodium ini bukan hanya menyerang hewan pada daerah tertentu saja seperti hanya didaerah sedang saja, di daerah panas saja, ataupun didaerah dingin saja, tetapi plasmodium ini menyerang orang di semua daerah baik daerah panas, daerah sedang maupun daerah dingin. Dari hasil penelitian Plasmodium sp yang menyerang orang-orang didaerah subtropis dan derah sedang atau daerah dingin ternyata bersifat fatal daripada jika menyerang orang-orang dari daerah tropik.
Keparasitan Plasmodium bukan hanya pada sebagian dari hidupnya, seperti hanya pada waktu mudanya saja, atau pada waktu dewasanya saja yang parasit tetapi plasmodium ini berparasit pada inang selama hidupnya sebagai parasit.
Plasmodium dapat digolongkan kedalam endoparasit dimana terdapat dalam sel darah merah dalam saluran darah tetapi stadium-stadium tertentu hidup diluar saluran darah yang tersebut dengan stadium ekstraeritrositer, tetapi masih dalam sel-sel jaringan tubuh. Kita mungkin mengira hanya kita yang dirugian oleh plasmodium ini, yaitu dengan perantaraan nyamuk sehingga menyebabkan penyakit malaria, tetapi ternyata nyamuk pun bisa ikut terkena serangan dari plasmodium ini, Seperti yang dikemukakan oleh Mukayat D. Brotowidjoyo (1987), bentuk aseksual terdapat sebagai parasit dalam eritrosit manusia dan burung, bentuk seksual terdapat dalam tubuh nyamuk Anopheles sp, bentuk seksual itupun hidup sebagai parasit, dan nyamuk dapat mati karena serangan dari plasmodium.
Plasmodium juga disebut parasit stasioner primer, disebut begitu karena plasmodium selama hidupnya selalu berada dalam tubuh inang. Pada waktu sporulasi suhu badan penderita malaria meninggi dan menderita malaria bisa terjadi kekurangan darah, hal ini disebabkan oleh karena plasmodium menyerang dan merusak butir-butir darah merah, karena itulah maka penderita penyakit malaria kekurangan darah.
Macam-Macam plasmodium
Plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia, yaitu :
1) Plasmodium vivax, menyebabkan penyakit malaria tertiana, merupakan penyebab kira-kira 43% kasus malaria pada manusia.
2) Plasmodium malariae, menyebabkan penyakit malaria quartana, menyebabkan kira-kira 7% malaria didunia.
3) Plasmodium falciparum, menyebabkan penyakit malaria tropik, merupakan malaria yang paling patogenik dan seringkali berakibat fatal.
Antara spesies-spesies plasmodium tersebut ada perbedaan morfologi dan interval waktu yang dipergunakan didalam siklus schizogoni yang berlangsung. Plasmodium tidak hanya terbatas pada jenis diatas, karena masih banyak jenis plasmodium yang lain tetapi hanya menyerang hewan lain selain manusia, seperti : Plasmodium brasilianum, yang terdapat pada kera, Plasmodium knowlesei, Plasmodium gallinarium dan masih banyak lagi.
Seperti yang dikemukakan oleh Elmer R. Noble dan Glenn A. Noble ( 1989 : 198 ) diantara penyakit pada manusia, malaria merupakan salah satu penyakit yang tersebar luas, paling dikenal dan paling banyak menimbulkan kematian.
II. MORFOLOGI
Menurut Norman D. Levine ( 1990 : 83 ), anggota plasmodium ini serupa dengan coccidia klasik, tetapi perbedaannya mereka memasuki eritrosit, bukan memasuki sel usus. Mereka menghasilkan sejumlah mikrogamet yang tidak banyak (biasanya dengan flagella tunggal bukan sejumlsh besar mikrogamet dengan 2/3 flagella. Merozoit mempunyai seluruh organel dari kelompok apikal, kecuali homoid, tetapi 24-26 mikrotubulus sub pelikuler dan 2 roptri, generasi merozoit terdapat dalam jumlah yang terhitung besarnya.
Plasmodium berparasit bukanlah pada organ-organ tubuh, seperti tangan, kaki, telinga dan organ lainnya, tetapi plasmodium ini berparasit pada darah manusia ( eritrosit ), plasmodium ini mempunyai ukuran tubuh yang lebih kurang 5ų (mikron), reproduksi yang dilakukannya bisa terjadi secara generatif dan juga bisa dilakukan secara vegetatif. Secara vegetatif / aseksual plasmodium berkembangbiak dengan sporulasi dan terjadi pada insekta.
Bila kita mengadakan pemeriksaan terhadap plasmodium ini yaitu dengan cara mengambil darah orang yang terkena penyakit malaria, maka terlihat plasmodium ini berbentuk cincin didalam eritrosit ( sel darah merah ) dan dipinggir cincin terlihat inti. Bentuk cincin adalah bentuk malaria muda, tetapi kalau sudah dewasa bentuknya berubah menjadi bundar dengan inti terdapat didalamnya. Kalau lebih tua lagi akan menjadi bentuk membagi diri, jika telah cukup umurnya akan pecah menjadi beberapa bagian peristiwa ini dinamakan dengan sporulasi. Dengan pecahnya bentuk membagi diri, eritrosit turut pecah dan akan tersebar racun-racun kuman dalam peredaran darah.
Serbentuk cisudah terjadi sporulasi, bagian-bagian kecil ini dinamakan merozoit yang masuk kedalam eritrosit baru, didalam eritrosit baru merozoit berbentuk cincin lagi, proses seperti ini dinamakan siklus berjenis. Bentuk dewasa dari plasmodium, ada yang berubah manjadi :
a. Mikrogamet, jenis jantan dengan inti besar tetapi badan kecil.
b. Makrogamet, yaitu jenis betina, bentuk hampir semua bundar akan tetapi sedikit lebih besar atau intinya besar. ( Syamsunir Adam, 1992 : 67-68 )
Tropozoit muda dari Plasmodium Malariae memiliki ciri-ciri; Berbentuk cicncin, Protoplasma biru tua, Kromatin kecil, Pigmen kehitaman di pinggir protoplasma dan terdapat Bintik Ziemann. Sedangkan Tropozit tua memiliki cirri-ciri Bentuk oval, Pigmennya tersusun di pinggir, Kadang ditemukan protoplasma berbentuk pita
pada Skizon muda ditemukan ciri-ciri: Bentuk oval, Kromatin membelah dan ditemukan Tititik schuffner, setelah menjadi skizon tua kromatin membelah menjadi 6-12, membentuk karangan yang kahs [ada plasmodium malariae.
Mikrogametosit memiliki kromatin difus, berwarna biru pucat, dan pigmen hitam yang membesar. Makrogametosit memiliki kromatin yang kompak dan eksentris, pigmen yang berwarna kehitaman berkelompok di sekitar kromatin.
III. SIKLUS HIDUP
Siklus hidup dari penyakit malaria ini adalah sebagai berikut : nyamuk anopheles betina yang mengandung bibit penyakit, menyerang manusia yang sehat, segera sporozoit memasuki sel-sel parenkim limpa, bentuk seperti amoeba yang disebut dengan trophozoit memasuki sel-sel darah dan mengadakan pembelahan, tiap trophozoit berubah menjadi schizon, mengadakan pembelahan berubah menjadi 6 – 36 anak yang disebut dengan merozoit. Pembelahan thropozoit menjadi merozoit terjadi didalam eritrosit ( sel darah merah). Pada sel darah merah yang mengandung merozoit pecah hingga merozoit menyebar dalam plasma darah setelah lebih kurang 10 hari jumlah parasit cukup banyak, malah pada saat merozoit lepas dari sebuah sel eritrosit yang sudah pecah akan menimbulkan demam pada penderita (hospes), hal ini dikarenakan tersebarnya toksin yang disebarkan oleh Plasmodium malariae. Terjadinya tergantung pada jenis plasmodiumnya. Seperti Plasmodium vivax, yang menyebabkan penyakit malaria tertiana, dengan demam 48 jam sekali, Plasmodium malariae dengan demam 72 jam sekali. Dan Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika dengan demam satu kali sehari ( tidak menentu ).
Setelah schizogony beberapa merozoit menjadi gametocyt, tetapi gamet tersebut tidak akan mengalami perubahan selama dalam tubuh manusia, akan tetapi bila gamet tersebut terhisap oleh nyamuk Anopheles dan masuk kedalam perut, gametocyt akan berubah sebagian menjadi microgamet, 2 gametocyt yang berbeda jenis akan mengadakan peleburan menjadi zigot, selanjutnya didalam tubuh menjadi ookinet yang menembus dinding pencernaan, masuk dalam rongga tubuh, dalam pertumbuhan selanjutnya ookinet menjadi oocyst, biasanya seekor nyamuk betina mengandung 50 – 500 oocyst. Dalam 6 – 7 hari oocyst membelah diri, sporogony menjadi seribu sporozoit dan selanjutnya dalam kelenjar ludah menunggu pemindahan masuk ketubuh manusia lain. ( Maskoeri Jasin, 1992 : 75 ).
Berbagai tindakan yang dapat dilakukan agar terhindar dari bahaya penyakit malaria, yaitu :
a. pada larva : yaitu dengan cara menyingkirkan / memodifikasi habitat-habitat larva, juga melakukan pemberantasan habitat larva dengan insektisida.
b. Pada dewasa : pencegahan dapat dilakukan dengan cara menggunakan pakaian pelindung, penggunaan kelambu, penggunaan lotion penolak nyamuk serta penggunaan insektisida.
Semoga Tulisan ini bermanfaat.