Senin, 18 Oktober 2010

Leptospirosis

I.Defenisi
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.
Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi (kelembaban), khususnya di negara berkembang, dimana kesehatan lingkungannya kurang diperhatikan terutama. pembuangan sampah. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi (tabel 1) dan peringkat tiga di dunia untuk mortalitas.
II. Penularan
Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.
Berdasarkan data Semarang tahun 1998 ? 2000. Banjir besar di Jakarta tahun 2002, dari data sementara 113 pasien leptospirosis, diantaranya 20 orang meninggal. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim penghujan lebih-lebih dengan adanya Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Pejamu reservoar utama adalah roden/tikus dengan kuman leptospira hidup di dalam ginjal dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil yang tertular secara langsung atau tidak langsung.
Penularan langsung terjadi melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu Dari hewan ke manusia merupakan penyakit kecelakaan kerja, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama dipakai oleh manusia dan hewan.

Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak, karena tidak terdiagnosis atau manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Menurut keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinik dan penanganannya, dibagi menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.
III. Gejala Klinis
Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya, sehingga seringkali tidak terdiagnosis. , oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis sebagai salah satu diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.

Gejala klinis leptospirosis yang tidak spesifik dan sulitnya tes laboratorium untuk konfirmasi diagnosis mengakibatkan penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis.
Mayoritas kasus leptopirosis adalah anikterik yang terdiri dari 2 fase/stadium yaitu fase leptospiremia/ fase septikemia dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik.
Manifestasi klinis berupa demam ringan atau tinggi yang bersifat remiten, mialgia terutama pada otot betis, conjungtival suffusion (mata merah), nyeri kepala, menggigil, mual, muntah dan anoreksia, meningitis aseptik non spesifik.
Leptospirosis ringan atau anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di Cina. Tes pembendungan terkadang positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi dengue.
Pada leptospirosis ikterik, pasien terus menerus dalam keadaan demam disertai sklera ikterik, pada keadaan berat terjadi gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Gejala klinik leptospirosis ikterik lebih berat, yaitu gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan (penyakit Weil ). Selain itu dapat terjadi Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS), koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik sebagai penyebab kematian pasien leptospirosis ikterik.
Stadium Pertama
• Demam menggigil
• Sakit kepala
• Malaise
• Muntah
• Konjungtivitis
• Rasa nyeri otot betis dan punggung
• Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari

Gejala yang Khas:
• Konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata)
• Rasa nyeri pada otot-otot Stadium Kedua
• Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita
• Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama
• Apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis.
• Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat.

IV. Komplikasi Leptospirosis

• Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
• Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
• Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
• Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
• Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
• Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

V. Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira ( MAT, ELISA, tes penyaring).
Golden standar pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat mengidentifikasi jenis serovar.
Pemeriksaan penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu : Suspek, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan tes laboratorium. Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif , bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positip, atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil tes MAT / ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih.

VI. Pencegahan

Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi pada pejamu manusia. Berbagai kegiatan yang dapat mencegah leptospirosis:
• Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
• Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
• Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan.
• Mencucui tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya.
• Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
• Menjaga kebersihan lingkungan
• Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang.
• Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung.
• Menghindari pencemaran oleh tikus.
• Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh tikus


VII. Pengobatan dan Prognosis

Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline)
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
Bila terjadi komplikasi angka lematian dapat mencapai 20%. Terapi leptospirosis mencakup aspek terapi aspek kausatif, dengan pemberian antibiotik Prokain Penisilin, Amoksisilin, Ampisilin, Doksisiklin pada minggu pertama infekasi, maupun aspek simtomatik dan suportif dengan pemberian antipiretik, nutrisi, dll.
Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna, berbeda dengan leptospirosis berat yang mempunyai angka CFR tinggi, antara 5 ? 40%. Prognosis ditentukan oleh berbagai faktor seperti virulensi kuman leptospira, kondisi fisik pasien, umur pasien, adanya ikterik, adanya gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat serta cepat lambatnya penanganan oleh tim medik.

cacing capillaria

A. PENDAHULUAN
Pertama kali ditemukan di Pulau Luzon, Filipina pada tahun 1963. Penyakit ini secara klinis berupa enteropati yaitu hilangnya protein dalam jumlah besar disertai dengan sindroma malabsorpsi yang menyebabkan hilangnya berat badan dengan cepat dan terjadi emasiasi berat. Kasus fatal ditandai dengan ditemukannya parasit dalam jumlah besar didalam usus halus, disertai dengan asites dan transudasi pleura. CFR sekitar 10 %. Kasus subklinis juga terjadi, namun biasanya berkembang menjadi kasus klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan melihat gejala klinis dan ditemukannya telur atau larva atau parasit dewasa di dalam tinja. Telur-telur ini mirip dengan telur Trichuris trichiura. Dengan melakukan biopsi jejunum bisa ditemukan adanya cacing pada mukosa.
Capillariasis intestinal endemis di Kepulauan Filipina dan Thailand; beberapa kasus dilaporkan terjadi di Jepang, Korea, Taiwan dan Mesir. Satu kasus telah dilaporkan muncul di Iran, India, Indonesia dan Kolumbia. Penyakit ini mencapai tingkat endemis di Pulau Luzon, dimana sepertiga dari populasi telah terinfeksi. Pria berumur antara 20 dan 45 tahun adalah kelompok umur dengan risiko tinggi.

B. MORFOLOGI

- cacing dewasa jantan:panjang ± 2,3 – 3,2 mm, panjang esofagus ½ panjang badan dikelilingi oleh stikosit, ekornya mempunyai papil.
- cacing dewasa betina:panjang ± 2,5 – 4,3 mm, panjang esofagus 1/3-1/2 panjang badan dikelilingi oleh stikosit, uterus berisi telur atau larfa.
- Telurnya berukuran 30-45 mikron, mirip dengan telur tricuris trichiura hanya kutubnya tidak menonjol.






C. SIKLUS HIDUP

Dewasa berada di mukosa usus halus manusia-> cacing betina bertelur di usus halus yang mungkin berkembang biak dalam hospes utamanya yakni usus halus manusia-> autoinfeksi tetapi biasanya keluar bersama tinja-> ikan menelan telur infektif (telur berisi embrio) -> telur menetas dan larva menembus usus dan menyerang jaringan ikan setelah beberapa minggu perkembangan larva menginfeksi manusia dengan makan ikan mentah atau kurang matang

D. GEJALA KLINIS
Infeksi Capillaria philippinensis bisa serius karena dapat berkembang biak parasit dalam usus, dan cacing dan larva melakukan kerusakan ekstensif pada lapisan usus.Gejalanya meliputi diare, sakit perut, kekurangan gizi, dan ditandai penurunan berat badan.
Infeksi kronis mengakibatkan kesulitan pencernaan dan karenanya terhadap protein dan kehilangan elektrolit, dan adanya efek ireversibel kematian infeksi.

E. PENATALAKSANAAN

Obat pilihan : Albendazole
Obat alternatif : Mebendazole/Thiabendazole

cacing filaria

A. PENDAHULUAN

Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah (filariasis), ukurannya supermini, berwujud mirip benang. Begitu cacing filarial bersarangdi tubuh manusia, berbagai perubahan mengerikan bakal terjadi. Kegiatan cacing mini dalam tubuh itu mampu membuat kaki, tangan,payudara, bahkan buah zakar penderitanya berubah menjadiberukuran “raksasa”. Inilah yang sering disebut penyakit kaki gajah.
Melihat betapa mengerikan penyakit itu, masih banyak orang dipedesaan meyakini, penyakit itu adalah penyakit keturunan, bahkan dianggap sebagai gangguan setan atau roh halus. Walau sangat jarangmenyebabkan kematian, penyakit itu membuat penderita menjadicacat dan tak produktif.
Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah itu berasal dari genuswuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai penyebab penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori.
Cacing filaria mempunyai inang perantara hewan Arthropoda, misalnya nyamuk, dan inang tetap yaitu manusia pada bagian pembuluh getah bening. Pada siang hari, larva berada di paru-paru atau di pembuluh darah besar. Pada malam hari, cacing pindah ke pembuluh arteri atas dan vena perifer di dekat kulit. Apabila cacing yang mati menyumbat pembuluh getah bening, maka menyebabkan pembengkakkan atau terjadinya penyakit kaki gajah (elephantiasis). Mikrofilaria dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Culex

B. MORFOLOGI

Cacing dewasa berwarna putih kekuning-kuningan, diliputi kutikula halus, berbentuk silindris seperti benang, kedua ujung tumpul, bagian anterior membengkak, mulut berupa lubang sederhana tanpa bibir ataupun alat lainnya, langsung menuju esofagus dengan sebuah rongga bukal tetapi tanpa tonjolan maupun kontriksi seperti tanda khas yang terdapat pada nematoda.

o Cacing jantan kurang lebih 40mm x 0,1 mm, ujung kaudal melengkung ke ventral didapat 12 pasang papila perianal, terdiri atas 8 pasang preanal dan 4 pasang posanal. Terdapat dua spikula dengan gubernakulum yang berbentuk bulan sabit.
o Cacing betina, 80-100 mm x 0,24-0,30 mm, vulva terletak di daerah servikal, vagina pendek dengan sebuah segmen keluar dari uterus selanjutnya organ genitalia ini berpasangan. Embrio yang masih muda terdapat di bagian dalam uterus dilapisi lapisan hialin yang tipis, kurang lebih 38 x 25 μ, apabila terdorong ke bagian uterus, bungkusnya memanjang menyesuaikan dengan bentuk embrio sampai embrio lahir tetap terbungkus sarung, embrio ini disebut mikrofilaria.

C. SIKLUS HIDUP
Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.
2. Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang lebih 7 bulan.
Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Cacing yang diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di dalam tubuh nyamuk. Makhluk mini itu berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu, pada stadium 3, larva mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk.Nyamuk pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan ”memindahkan” larva infektif tersebut.
Bersama aliran darah, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi padamalam hari, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh.Pemeriksaan darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan malam hari.
Setelah dewasa, cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangicairan limfe sehingga terjadi pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di tangan, payudara, atau buah zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa mengalir sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak, mengakibatkan pembesaran tangan.

D. GEJALA KLINIK
Apabila seseorang terserang filariasis, maka gejala yang tampak antara lain:
1. Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, demam dapat hilang bila si penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar getah bening sehingga terlihat bengkak di daerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
3. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahandan merasa panas.
Sedangkan gejala klinis filariasis kronis yaitu berupa pembesaran yang menetap (Elephantiasis) pada tungkai, lengan buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

E. PENATALAKSANAAN
Selama lebih dari 40 tahun untuk pengobatan filariasis, baik secara perorangan maupun untuk pengobatan masal dalam jangka panjang, digunakan DEC (Diethil Carbamazine Citrate). DEC bersifat membunuh mikrofilaria juga makrofilaria atau cacing dewasa. Sehingga sampai saat ini DEC merupakan satu-satunya obat penyakit kaki gajah (filariasis) yang efektif, aman dan relatif murah. Pada pengobatan perorangan bertujuan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, guna mengurangi atau mencegah kesakitan. Aturan dosis yang dianjurkan untuk 6 mg/kg berat badan/hari, selama 12 hari diminum sesudah makan, dalam sehari 3 kali.

Pada pengobatan masal (program pengendalian filariasis), digunakan pemberian DEC dosis rendah, dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama, misalnya:
- Dalam bentuk garam DEC 0,2% - 0,4% selama 9 - 12 bulan.
- Untuk orang dewasa digunakan 100mg/minggu selama 40 minggu.